Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

5 Metode Hermeneutika dalam Penafsiran Alkitab dan Contohnya

Selamat datang di situs Blogger Toraja.

Menurut Dr. A. A. Sitompul, fungsi metode Hermeneutika hanya sebagai alat untuk membuka aspek-aspek yang kurang jelas di sekitar nat, tetapi juga untuk menguji pandangan-pandangan dalam suatu ajaran yang menyangkut iman gereja, baik dalam pemberitaannya maupun dalam pengajarannya. 

Jadi berdasarkan pendapat Dr. A. A Sitompul ini kita dapat mengatakan bahwa tugas atau fungsi metode penafsiran Alktab ini adalah:

  • Membuka aspek-aspek yang kurang jelas di sekitar nas Alkitab
  • Menguji pandangan-pandangan dalam ajaran yang menyangkut iman gereja, baik dalam pemberitaannya maupun dalam pengajarannya

Sejak dahulu sampai sekarang, banyak metode yang dipergunakan untuk menafsirkan Alkitab. Beberapa dari metode itu, yang lazim digunakan secara meluas adalah metode tipologi, alegori, analogi, analitis dan historis-kritis.

Metode Hermeneutika dalam Penafsiran Alkitab

Secara garis besar, berikut lima metode Hermeneutik dalam penafsiran Alkitab:

1. Metode Tipologi

Kata "tipologi" berasal dari kata Yunani "tuphos" yang berarti "bayangan', contoh, model, tipe, standar, macam atau jenis. Dalam peranannya sebagai metode penafsiran Alkitab, G. You Rad mengatakan bahwa "tipologi' berarti suatu peristiwa atau fakta PL maupun PB yang ditafsirkan sebagai prabayangan" dari peristiwa yang sudah jadi atau yang dinanti-nantikan kejadiannya dalam Perjanjian Baru". 

Sebagaimana ditulis oleh Hasan Sutanto, "tipologi" adalah suatu korespondensi dalam satu, atau beberapa aspek antara tokoh, peristiwa, benda, dan lain-lain di PL dengan tokoh, peristiwa, benda, dan lain-lain yang lebih dekat atau sezaman, dengan penulis PB." (Hermeneutik, hlm. 275).

Metode ini telah dipergunakan dalam Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam PL kita menemukan beberapa contoh: Deutero Yesaya menggunakan Keluaran dari Mesir sebagai tipologis bagi kelepasan dari Babel.

PB memahami Keluaran dari Mesir ini sebagai tipologis bagi suatu Keluaran Baru dari Perhambaan dan kutuk dosa; Musa adalah tipologis bagi Yesus (band Mat. 5-7) yang merupakan Taurat baru dari Yesus (darah anak domba yang dioles di pintu orang Israel ketika hendak meninggalkan Mesir adalah tipologi bagi darah Yesus Kristus yang tertumpah di bukit Golgota.

  • Hamba Tuhan yang menderita dalam Yesaya 52:13-53:12 adalah tipologi bagi Yesus Kristus yang menderita sengsara karena dosa manusia (band. Mat. 8:17; Yoh. 12:38; Kis. 8:32-33; 1 Ptr. 2:24-25)
  • Mesias adalah tipologi bagi Yesus Kristus
  • Surat Ibrani melihat Imam Besar sebagai gambaran atau tipologis bagi Yesus Kristus.

2. Metode Harfiah

Kata "harfiah" berarti sesuai dengan huruf atau sesuai dengan yang tertulis. Para penafsir harfiah beranggapan bahwa Alkitab adalah firman Allah yang sudah jelas, sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi. Fiman yang tertulis dalam Alkitab tinggal dilaksanakan saja. Namun, pandangan yang demikian ternyata sulit diterapkan, contoh firman Tuhan yang sulit diterapkan misalnya: harus disunat dan dibaptis bersama-sama, atau orang harus melaksanakan Matius 5:29-30 secara harfiah dan konsekuen.

James Barr, dalam bukunya yang berjudul Alkitab di Dunia Modern (Jakarta, 1979) hlm. 235-237, membedakan dua macam penafsiran harfiah, yaitu:

  • Penafsiran harfiah sebagaimana nas yang tertulis. Penafsiran ini menekankan arti suatu nas sebagaimana yang tertulis. J. Barr menulis dalam bukunya sebagai berikut "Mengartikan nas itu secara harfiah, berarti bahwa objek yang disinggung dalam nas itu bereksistensi persis sebagaimana digambarkan menurut pengertian nas yang langsung" (hlm. 223).
    Umpamanya:
    • Kalau dikatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam 6 hari, itu berarti benar-benar 6 hari sebagaimana yang kita kenal sekarang (6x24jam);
    • Atau kalau dikatakan bahwa Metusalah hidup 696 tahun lamanya maka benar-benar Metusalah hidup 696 tahun sebagaimana yang kita pahami sekarang. Di sini kata "hari" dan "tahun" diberi arti sebagaimana adanya.
  • Penafsiran harfiah yang menekankan rincian-rincian (detail) dari nas sebagai kunci pemahaman atas nas tersebut. Penafsiran ini disebut penafsiran yang mendetail. Maksudnya penafsiran ini akan membawa penafsir untuk memerhatikan detail (bagian-bagian terkecil) yang ada dalam nas, perikop atau fakta yang disajikan Alkitab. Apabila rincian-rincian tersebut dihubungkan atau ditelaah lebih dalam, sipenafsir akhirnya akan tiba pada pikiran atau teologi si pengarang. Contoh:
    • Mengapa dalam Alkitab terdapat dua cerita penciptaan yang berbeda?
    • Dalam Kitab Kejadian 1 penciptaan langit dan bumi berlangsung secara teratur dan bertahap selama 6 hari dengan puncak pada hari ke-7; juga perincian kejadian-kejadian tiap-tiap hari disajikan secara teliti; juga diperhatikan kata kerja "menciptakan" (bara) dan "membuat" ('asah) yang dipakai secara bergantian;
    • Dalam Kitab Kejadian ada data-data yang menarik tentang usia manusia. Usia dari Adam sampai Nuh relatif tinggi dengan puncak pada usia Metusalah 969 tahun). Sesudah itu grafik usia manusia dari Sem sampai Yusuf menurun drastis dengan usia terendah adalah usia Yusuf (110 tahun). Detail yang tampil secara harfiah.ini menggelitik penafsir untuk mencoba memahami sesuatu yang "tersirat" di balik fakta-fakta harfiah yang'"tersurat". J. Barr, berpendapat bahwa penafsir mendetaillah yang lebih baik daripada penafsiran harfiah (hlm. 234).
      Menurut hemat saya kedua jenis penafsiran ini sama-sama bermanfaat pada waktunya. Hal itu karena tidak selamanya penafsiran harfiah itu bersifat dangkal mengingat bahwa ada detail-detail yang disajikan Alkitab yang memang harus diartikan secara harfiah dan tidak bisa diartikan yang lain.

3. Metode Alegori

Kata "Alegori" berasal dari kata "ellegoreo" yang berarti berbicara secara kiasan. Setiap bahasa mengenal bentuk kiasan. Alegori pada mulanya adalah metode yang dipergunakan dalam filsafat Yunani untuk menafsirkan segala hal yang bersifat materi sebagai hal yang mempunyai arti rohani. 

Hal ini dapat dimengerti mengingat filsafat Yunani selalu menganggap segala yang bersifat bendawi kurang berharga jika dibandingkan dengan segala yang bersifat bukan bendawi (immateria), yakni yang bersifat rohani sebagai hal yang bernilai tinggi.

Sebagai metode tafsir yang pernah digunakan bahkan sampai sekarang (di kalangan sebagian anggota Jemaat) Alegoris lebih mendalam artinya daripada sekadar perumpamaan atau kiasan. Metode Alegoris ini adalah metode yang berusaha selalu mencari atau memberi arti terhadap fakta-fakta dalam Alkitab.

Pelopor dari penafsiran alegori ini adalah Philo dari Aleksanderia. Dialah yang pertama kali berusaha menafsirkan PL dengan metode Alegori. Hal yang dipelajarinya sebagai suatu metode dalam filsafat Yunani. Ia juga yang meletakkan prinsip-prinsip dasar pennafsiran alegoris ini. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut (Hasan Susanto, hlm. 37):

  • Jika arti harfiah menyatakan sesuatu yang tidak hormat terhadap Allah
  • Jika suatu pernyataan tersebut bertentangan dengan pernyataan lain dalam Alkitab
  • Jika suatu teks menyatakan dirinya sebagai alegori
  • Jika suatu ucapan diulang atau kata-kata berkelebihan dipakai.
  • Jika terjadi pengulangan sesuatu yang sudah diketahui
  • Jika suatu ungkapan berubah-ubah
  • Jika suatu sinonim dipakai
  • Jika terdapat kemungkinan mempermainkan kata
  • Jika ada ketidakbiasaan dalam angka atau masa (tense, dalam bahasa Inggris) dalam tata bahasa
  • Jika terdapat simbol

Beberapa contoh tafsiran alegoris yang serampangan:

  • Philo menafsirkan 4 sungai yang mengairi taman Eden (Kej. 2:10-14) sebagai kebajikan (Pison), keberanian (Gihon), penguasaan diri (Tigris), dan keadilan (Efrat). Catatan: kebajikan/kebijaksanaan, keberanian, dan penguasaan diri adalah 3 kebajikan utama dalam filsafat Platonisme (lihat Hasan Susanto, hlm. 37).
  • Begitu juga lima batu yang dipungut Daud dari dasar sungai untuk melawan Goliat (1 Sam. 17:40) sering ditafsirkan secara alegoris dengan mengatakan bahwa batu-batu adalah batu iman, batu pengharapan, batu kasih, batu kesetiaan, dan batu kesucian.
  • Pohon yang dipanjat Zakeus (Luk. 19:46) diberi arti alegoris pula.

Banyak ahli tafsir modern keberatan terhadap metode alegoris ini. Namun, menurut saya metode ini tetap berguna dalam gereja, karena metode ini pun mendapat tempatnya juga dalam perkembangan kanon Alkitab, misalnya; Kitab Kidung Agung dalam PL justru diterima sebagai kanon Yahudi dan demikian juga kanon gereja berdasarkan penafsiran alegori ini.

Banyak penglihatan dalam PL maupun PB yang harus ditafsirkan secara alegoris, karena dari teks itu sendiri bermaksud demikian. Namun, penafsiran alegori akan bermanfaat apabila dipergunakan secara bertanggung jawab dan pada tempatnya. 

Dalam praktiknya nyata bahwa banyak anggota gereja yang memperoleh kekuatan iman, dari penafsiran alegoris di tengah-tengah pergumulan hidupnya.

4. Metode Analogi

Kata "analogi" berasal dari kata Yunani "analogia' yang yang berarti 'potongan yang sama'. Misalnya, seperti pinang dibelah dua saat belahan yang satu adalah sama dengan belahan yang lain. Dengan demikian 'analogi' berarti pula 'persamaan'.

Sebagai metode penafsiran, analogi dipandang sebagai gabungan antara pendekatan tipologis dan alegoris, tetapi lebih berat ke tipologis daripada alegoris.

L.J. Cairns (hlm. 58 dari bukunya) mengatakan bahwa 'analogi' itu sendiri merupakan bentuk embrionis dari pada tipologi atau alegori. Karena itu, metode ini sering disebut metode tipologis-alegoris.

Menurut G. Von Rad (sebagaimana yang dikutip Cairns, hlm. 35-36) bahwa, karena Alkitab adalah "kitab yang memuat sejarah karya firman Allah yang kreatif" maka penafsiran analogi dapat dipandang sah jika metode ini "memusatkan perhatiannya kepada paralel-paralel antara peristiwa-peristiwa ilahi tertentu yang disaksikan dalam Skriptura dengan tidak mementingkan keparalelan antara seluk-beluk historis-kultural atau arkheologis yang kebetulan tampak dalam nas-nas yang sedang dibandingkan itu".

Jadi, penafsiran analogis ini telah dibatasi dengan hanya memusatkan perhatiannya pada kesamaan-kesamaan atau kesejajaran antara peristiwa-peristiwa ilahi tertentu yang disaksikan dalam Alkitab. Sedangkan kesamaan budaya, situasi historis-kebudayaan, arkheologis, dan sebagainya, tidak terlalu dominan dalam metode ini.

5. Metode Analitis (Criticism) atau Metode Historis Kritis

Metode ini berkembang pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20. Metode historis-kritis bertolak dari suatu pandangan kritis terhadap Alkitab. Kritis dalam arti tidak menerima mentah-mentah setiap hal, tetapi berusaha mengujinya dengan pertimbangan-pertimbangan yang dalam dari berbagai segi. 

Metode analitis atau Historis-Kritis ini melihat Alkitab sebagai buku yang didalamnya berisi kesaksian tentang Allah dan kehendak-Nya, maka sebagai buku, Alkitab dapat didekati dengan menggunakan metode-metode analisis sastra yang dipergunakan.

Dr. A. A. Sitompul (hal. 41-110) memberikan uraian yang luas mengenai cara menggunakan metode tafsir ini. Dalam uraiannya itu ia menyebutkan 9 (sembilan) tahapan analisis yang harus dilakukan, yaitu:

  • Analisis nas (Textual Criticism)
  • Analisis sastra (Literer Criticism)
  • Analisis hadits lisan atau analisis sejarah tradisi lisan (tradition criticism, khususnya oral tradition)
  • Analisis sejarah radisi (bistorical tradition criticism)
  • Analisis sejarah peredaksian (historical redaction critism)
  • Analisis bentuk (from critical method atau form criticism)
  • Tempat dan waktu
  • Tafsiran ayat demi ayat
  • Tujuan: skopus atau maksud nas.

Selain beberapa bentuk metode penafsiran Alkitab yang telah dibahas diatas, berikut ini dikemukakan secara singkat 12 metode Alkitab lainnya yang dikemukakan oleh Rick Warren dalam bukunya Metode Pemahaman Alkitab yang Dinamis. Metode tersebut antara lain:

  1. Metode berdoa
  2. Metode meringkas bagian
  3. Metode mutu karakter
  4. Metode tematik
  5. Metode biografis
  6. Metode topikal
  7. Metode studi kata
  8. Metode latar belakang penulisan
  9. Metode survey penulisan kitab
  10. Metode abalisis bagian/pasal/bab
  11. Metode sintesis kitab
  12. Metode analisis ayat-ayat.

Sumber:

  1. Buku "Dasar-dasar Hermeneutik" karya Kresbinor Labolar
  2. Buku "Metode Pemahaman Alkitab yang Dinamis" karya Rick Warren

Blogger Toraja
Blogger Toraja Menulis adalah bekerja untuk keabadian, semua orang akan mati kecuali karyanya
close